Makna dari Sebuah Amanah
dakwatuna.com – “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Anfaal
27).
Ayat ini
mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan
berkhianat. Bahwa di antara indikator keimanan seseorang adalah sejauh mana dia
mampu melaksanakan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang
munafik adalah khianat dan melalaikan amanah-amanahnya. Amanah, dari satu sisi
dapat diartikan dengan tugas, dan dari sisi lain diartikan kredibilitas
dalam menunaikan tugas. Sehingga amanah sering dihubungkan dengan kekuatan.
Firman Allah:
“Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.” (QS
Al-Qhashash 27)
Imam Syahid Hasan
Al-Banna berkata: ”Oleh karena itu wahai ikhwan kuatkanlah keimanan dan ruhiyah
kalian, kuatkanlah ilmu dan tsaqafah kalian serta kuatkanlah fisik dan segala
sarana yang dapat digunakan untuk memikul amanah. Dan Allah memerintahkan
kepada kita untuk mempersiapkan segala bentuk kekuatan”.
Hidup ini tidak lain
dari sebuah safari atau perjalanan panjang dalam melaksanakan amanah dari
Allah. Dalam hidupnya manusia dibatasi oleh empat dimensi,
bumi tempat beramal, waktu atau umur sebagai sebuah kesempatan
beramal, nilai Islam yang menjadi landasan amal dan potensi diri
sebagai modal beramal. Maka orang yang bijak adalah orang yang senantiasa
mengukur keterbatasan-keterbatasan dirinya untuk sebuah produktivitas yang
tinggi dan hasil yang membahagiakan. Orang-orang yang beriman adalah
orang-orang yang senantiasa sadar bahwa detik-detik hidupnya adalah karya dan
amal shalih. Kehidupannya di dunia sangat terbatas sehingga tidak
menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang sepele, remeh apalagi perbuatan yang
dibenci (makruh) dan haram.
Amanah pertama yang
harus dilakukan adalah Amanah Fitrah manusia, dimana makhluk lain enggan dan
menolak menerimanya. Ia adalah amanah hidayah, ma’rifah dan iman kepada Allah
atas dasar niat, kemauan, usaha dan orientasi. Amanah berikutnya adalah Amanah
Syahadah (Kesaksian). Pertama, berupa kesaksian diri agar menjadi cermin bagi
agamanya. Kedua, berupa kesaksian dakwah agar menyampaikan agama kepada
manusia. Ketiga, berupa kesaksian agar menerapkan manhaj dan syariah Islam
di bumi Allah.
Dan amanah itu akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pertanyaan akan ditujukan atas
amanah yang dibebankan kepada kita. Barangsiapa yang menunaikan amanah sekecil
apapun, niscaya akan dilihat Allah. Dan barangsiapa yang melalaikan amanah
sekecil apapun niscaya akan dilihat. Manusia tidak akan dapat lari dari
tanggungjawab itu. Karena tempat yang ditinggali adalah bumi Allah, umur yang
dimiliki adalah ketentuan Allah, potensi yang ada adalah anugerah Allah dan
nilai Islam adalah tolok ukur dari pelaksanaan amanah tersebut. Kemudian
mereka akan datang menghadap Allah.
Oleh karena itu sekecil
apapun amanah yang dilaksanakan, maka memiliki dampak positif berupa kebaikan.
Dan sekecil apapun amanah yang disia-siakan, niscaya memiliki dampak negatif
berupa keburukan. Dampak itu bukan hanya mengenai dirinya tetapi juga
mengenai umat manusia secara umum. Seorang mukmin yang bekerja mencari
nafkah dengan cara yang halal dan baik, maka akan memberikan dampak positif
berupa ketenangan jiwa dan kebahagiaan bagi keluarganya. Lebih dari itu dia
mampu memberi sedekah dan infak kepada yang membutuhkan. Sebaliknya seorang
yang menganggur dan malas akan menimbulkan dampak negatif berupa keburukan,
terlantarnya keluarga, kekisruhan, keributan dan beban bagi orang lain.
Kesalahan kecil dalam
menunaikan amanah akan menimbulkan bahaya yang fatal. Bukankah terjadinya
kecelakaan mobil ditabrak kereta, disebabkan hanya karena sopirnya lengah atau
sang penjaga pintu rel kereta tidak menutupnya? Bahaya yang lebih fatal lagi
jika amanah dakwah tidak dilaksanakan, maka yang terjadi adalah merebaknya
kemaksiatan, kematian hati, kerusakan moral dan tatanan sosial serta kepemimpinan
di pegang oleh orang yang bodoh dan zhalim.
Perjalanan dakwah telah
menorehkan pengalamannya betapa kesalahan dalam melaksanakan amanah
mengakibatkan kerugian dan musibah. Pada saat perang Uhud, Rasulullah saw.
memerintahkan satu pasukan pemanah untuk tetap berjaga di bukit Uhud dan tidak
meninggalkan pos itu. Tetapi, ketika pasukan perang umat Islam sudah di ambang
kemenangan, dan sebagian yang lain bersorak sambil memunguti rampasan perang,
maka pasukan pemanah pun tergoda dan ikut-ikutan mengambil rampasan perang itu.
Akhirnya pasukan kafir berhasil memukul mundur pasukan umat Islam, dan rampasan
perang pun raib dari tangan mereka. Lebih tragis dari itu adalah darah segar
berceceran dari muka Rasulullah saw, akibat amanah yang dilalaikan.
Harta, wanita dan kekuasaan
memang merupakan sarana yang paling ampuh digunakan syetan untuk menggoda orang
beriman agar melalaikan amanah, bahkan meninggalkannya sama sekali. Betapa
sebagian dai yang ketika tidak memiliki sarana harta yang cukup dan tidak ada
kekuasaan yang disandangnya, begitu istiqamah menjalankan amanah dakwah. Tetapi
setelah dakwah sudah menghasilkan harta dan kekuasaan, amanah dakwah itu
ditinggalkan dan bahkan berhenti dari jalan dakwah dan futur dalam barisan
jamaah dakwah!
Oleh karena itu
waspadalah terhadap harta, wanita dan kekuasaan! Itu semua hanya sarana untuk
melaksanakan amanah dan jangan sampai menimbulkan fitnah yang berakibat pada
melalaikan amanah. Dibalik dari menunaikan amanah terkadang ada
bunga-bunga yang mengiringinya, harta yang menggiurkan, wanita yang
menggoda sehingga orang yang beriman harus senantiasa menguatkan taqarrub
illallah dan istianah billah.
Amanah adalah
perintah dari Allah yang harus ditunaikan dengan benar dan disampaikan kepada
ahlinya. Allah Taala berfirman:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS An-Nisaa 58)
Amanah yang paling
tinggi adalah amanah untuk berbuat adil dalam menetapkan hukum pada
kepemimpinan umat. Pahala yang paling tinggi adalah pahala dalam melaksanakan
keadilan sebagai pemimpin umat. Begitulah sebaliknya, bahaya yang paling
tinggi adalah bahaya melakukan kezhaliman pada saat memimpin umat. Kezhaliman
pemimpin akan menimbulkan kehancuran dan kerusakan total dalam sebuah bangsa.
Maka kezhaliman pemimpin merupakan sikap menyia-nyiakan amanah yang paling
tinggi.
Hidup adalah
pilihan-pilihan. Dan pilihan melaksanakan amanah adalah konsekuensi sebagai
manusia, konsekuensi sebagai muslim dan konsekuensi sebagai dai. Oleh karenanya
sandaran yang paling baik adalah Allah, teman yang paling baik adalah
orang-orang yang shalih dan kelompok yang paling baik adalah jamaah Islam. Maka
kuatkan hubungan dengan Allah dan tingkatkan ukhuwah Islamiyah niscaya kita
akan sukses melaksanakan amanah itu, sebesar apapun. Marilah kita melaksanakan
amanah yang diberikan Allah kepada kita dengan penuh keikhlasan dan
kesungguhan. Marilah kita melaksanakan amanah yang dibebankan jamaah kepada
kita dengan penuh kesabaran dan lapang dada. Marilah kita melaksanakan amanah
umat dengan penuh keseriusan dan tanggungjawab. Dan semuanya akan ditanya,
siapkah kita ? Jika tidak, maka akan terjadi kehancuran dan kerusakan
Amanah Kepemimpinan
Dan dari Jabir RA
berkata, tatkala Nabi SAW berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan
sahabat, maka datanglah orang Arab Badui dan berkata: “Kapan terjadi
Kiamat?” Rasulullah SAW terus melanjutkan pembicaraannya.
Sebagian sahabat berkata: Rasulullah SAW mendengar apa yang
ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya. Berkata sebagian yang
lain: Rasul SAW tidak mendengar”. Setelah
Rasulullah SAW menyelesaikan perkataannya, beliau
bertanya: ”Mana yang bertanya tentang Kiamat?” Berkata orang Badui
itu: ”Saya wahai Rasulullah saw.” Rasul SAW berkata: ”Jika
amanah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya: ”Bagaimana
menyia-nyiakannya?”. Rasul SAW menjawab: ”Jika urusan diserahkan
kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari)
Hadits ini sebuah
peringatan dari Rasul SAW agar amanah itu diberikan kepada ahlinya. Dan puncak
amanah adalah amanah dalam kepemimpinan umat. Jika pemimpin umat tidak amanah
berarti kita tinggal menunggu kiamat atau kehancuran. Dan Indonesia adalah
contoh riil dari sebuah negara yang selalu dipimpin oleh orang yang tidak
amanah.
Ciri-Ciri Pemimpin
yang Tidak Amanah, adalah sbb:
Pertama, pemimpin yang tidak memenuhi syarat keahlian.
Syarat pemimpin yang disepakati ulama Islam adalah ; Islam, baligh dan berakal,
lelaki, mampu (kafaah), merdeka atau bukan budak dan sehat indra dan
anggota badannya. Pemimpin yang tidak memiliki syarat keahlian pasti tidak
amanah. Seorang wanita yang menjadi pemimpin sebuah negara atau bangsa pasti
tidak amanah. Karena dia melakukan yang bukan haknya dan pasti kepemimpinannya
dilakukan berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan dunia lainnya dan
bukan berdasarkan niat yang tulus untuk beribadah kepada Allah.
Jika orang bodoh, tidak
berakal, tidak sehat dan tidak mampu memimpin pasti tidak amanah, karena dia
tidak mengerti apa yang seharusnya dikatakan dan diperbuat. Dan pasti dia akan
diperalat oleh orang dekatnya atau kelompoknya. Dia tidak mampu melakukan
tugas-tugas yang berat karena cacat. Dia lebih banyak berbuat untuk dirinya
daripada untuk rakyatnya.
Kewajiban kita wahai
saudaraku yaitu menyesuaikan pemimpin bangsa yang ada dengan syarat-syarat yang
dituntut dalam Islam. Jika tidak maka kita semua berdosa, bahkan dosa besar.
Kita semua harus berjihad untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan Islam.
Dan kita semua harus melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar jika ada pemimpin
yang tidak sesuai dengan syarat dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan
jihad yang paling utama, beliau bersabda:
“Seutama-utamanya jihad
adalah kalimat yang benar kepada penguasa yang zhalim” (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani,
Al-Baihaqi dan An-Nasai).
Hadits yang lain:
”Penghulu para syuhada
adalah Hamzah bin Abdil Muthallib dan seorang yang bangkit menuju imam yang
zhalim ia memerintahkan dan melarang sesuatu lalu dibunuhnya” (HR Al-Hakim)
Kedua, mementingkan diri sendiri, keluarga dan
kelompoknya. Pemimpin yang amanah berarti melaksanakan segala kepemimpinannya
untuk semua rakyat dan bangsanya, bukan hanya untuk diri sendiri, keluarga dan
kelompoknya. Menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Mengembangkan kekayaan
negeri untuk kepentingan rakyatnya, bukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga dan kelompoknya saja. Apalagi dikorbankan kepada bangsa asing dan
mengorbankan rakyat dan negaranya.
Ketiga, zhalim. Pemimpin yang tidak amanah bersifat
zhalim, karena dia melaksanakan kepemimpinan itu bukan untuk melaksanakan
amanah, tetapi untuk berkuasa dan memiliki segala kekayaan negeri sehingga dia
akan berbuat zhalim kepada rakyatnya. Yang dipikirkan adalah kekuasaannya dan
fasilitas dari kekuasaan itu, tidak peduli rakyat menderita dan sengsara bahkan
tidak peduli tumpahnya darah rakyat karena kezhalimannya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya akan
datang di tengah-tengah kalian para pemimpin sesudahku, mereka menasihati orang
di forum-forum dengan penuh hikmah, tetapi jika mereka turun dari mimbar mereka
berlaku culas, hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barangsiapa yang
membenarkan kebohongan mereka dan membantu kesewenang-wenangan mereka, maka aku
bukan lagi golongan mereka dan mereka bukan golonganku dan tidak akan dapat
masuk telagaku. Barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak
membantu kesewenang-wenangan mereka maka ia. adalah termasuk golonganku dan aku
termasuk golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku.” (HR. At-Thabrani)
Keempat, menyesatkan umat. Pemimpin yang tidak amanah
akan melakukan apa saja untuk menyesatkan umat. Mereka membeli media masa untuk
menayangkan adegan yang menyesatkan, rusak dan kotor. Pemimpin yang seperti ini
adalah pemimpin yang berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari Dajjaal
–laknatullah-. Rasul SAW bersabda:
“Selain Dajjaal ada yang
lebih aku takuti atas umatku dari Dajjaal; yaitu para pemimpin yang sesat” (HR Ahmad).
Kelima, kehancuran dan kerusakan seluruh tatanan
sosial masyarakat. Pemimpin yang tidak amanah akan mengakibatkan kiamat. Kiamat
berarti dominannya seluruh bentuk kemaksiatan, seperti kemusyrikan, sihir dan
perdukunan, zina dan pornografi, minuman keras dan NARKOBA, pencurian dan
korupsi, pembunuhan dan kekerasan, dll.
Dengan demikian kita
harus memunculkan pemimpin yang adil, yaitu pemimpin yang senantiasa menegakkan
keadilan dan berbuat untuk kemaslahatan rakyatnya di dunia dan di
akhirat. Kita harus berjihad untuk sebuah proses lahirnya pemimpin yang
adil, kita harus menyiapkan ibu-ibu yang akan mencetak pemimpin yang adil, kita
harus menyiapkan sarana untuk terciptanya pemimpin yang adil, kita harus
berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar sehingga mendapatkan pemimpin yang adil.
“Dan kamu semua adalah
pemimpin dan kamu semua akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya
itu”. Umar bin Khathab RA berkata: Jika ada sebuah keledai yang jatuh di Irak,
maka aku akan ditanya di hadapan Allah Taala, kenapa engkau tidak memperbaiki
jalan itu”
Doa kita adalah doa yang
diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”.
Rasulullah SAW bersabda:
“Ada tujuh kelompok yang
akan mendapat perlindungan Allah di hari yang tiada perlindungan, kecuali
perlindungan Allah: Imam yang adil….” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Sehari bersama imam
yang adil lebih baik dari ibadah seorang lelaki 60 tahun. Dan hukum hudud yang
ditegakkan di muka bumi dengan benar lebih bersih dari hujan yang turun selama
40 tahun” (HR At-Thabarani
dan Al-Baihaqi)
“Tiga kelompok yang
tidak ditolak doanya: Imam adil, orang yang berpuasa sampai berbuka dan doa
orang yang tertindas” (HR Ahmad,
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
“Manusia yang paling
dicintai Allah dan yang paling dekat kedudukannya di hari kiamat adalah imam
yang adil. Dan manusia yang paling dibenci Allah dan paling keras azabnya
adalah imam yang zhalim” (HR
Ahmad, At-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
(SSC/iman santoso)
Seri Tausiyah Kader untuk Qiyadah - Urgensi amanah dalam Jamaah
Urgensi Amanah Dalam Jamaah dan Dakwah
Oleh: Fathuddin Ja'far Lc MA
Amanah adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih lagi bila ia menjadi pemimpin, ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab itu, tidak heran jika salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki oleh beliau. Amanah lazim dipahami sebagai sebuah karakter kejujuran dalam menjalankan tugas, pekerjaan atau kedudukan yang diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah dengan memberikan atau menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian. Ada pula yang mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua manusia, tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi yang mencakup semua aspek yang terkandung dalam kata "amanah", karena begitu besar makna dan perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah llallah. Dakwah llallah akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah llallah akan hancur, paling tidak menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih lagi jika yang tidak amanah itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya yang ada di dalamnya. Amanah bukanlah sebuah rangkaian kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita sehingga menjadi indah didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam kehidupan jamaah dan dakwah llallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam diri para pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya dalam kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan, sikap dan tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan di atas, sulit bagi kita membangun jamaah dakwah llallah yang kuat, dan terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana kasih sayang (mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian, KKN, like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga (dunia) yang sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang semakin merajalela. Akhirnya kehancuran yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah mengingatkan kita: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Bersabda Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam:
Bila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran". [1]
Agar kita mudah memahami dan menghayati kebesaran makna dan peran amanah dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan dakwah, mari kita simak dan renungkan beberapa kisah seputar amanah yang menakjubkan yang terjadi dalam sejarah umat Islam terdahulu, dimulai sejak Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam memimpin umatnya sampai beberapa abad setelahnya. Kisah-kisah di bawah ini mencerminkan amanah yang telah menjadi karakter masyarakat Islam sejak dari pemimpin, ulama, pegawai/profesional dan orang kaya dari kalangan kaum muslimin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah, pernah seorang wanita ternama mencuri di zaman Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan (dispensasi hukum) dari Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam agar tidak diterapkan padanya hukuman potong tangan. Mendengar dan melihat gelagat mereka, beliau pun marah sambil berkata: "Wahai manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka (menerapkan hukum tebang pilih). Ketika yang mencuri (korupsi) itu dari kalangan terhormat, mereka membiarkannya. Namun, bila yang mencuri itu dari kalangan lemah (rakyat jelata), mereka terapkan hukum pada mereka. Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sekiranya Fathimah anak kesayangan Muhammad mencuri, pasti Muhammad potong tangannya".
Ini adalah amanah seorang penguasa da/am menerapkan undang-undang/peraturan terhadap semua rakyatnya.
Salah seorang anak amirul mukminin Umar Ibnul Khattab radhiyallahu 'anhu pernah meminjam modal untuk berdagang dari Abu Musa Al-Asya'ari radhiyallahu 'anhu yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah (Irak). Abu Musa meminjamkannya dari uang simpanan negara dengan syarat dikembalikan utuh, tanpa ada pemotongan sedikitpun. Perdaganganpun dijalankan sampai anak khalifah tersebut meraih keuntungan besar. Berita itu sampai kepada sang khalifah. Lalu beliau berkata kepada anaknya, "Ketika kamu membeli barang, para penjual pasti mendiscount harganya karena mereka mengetahui kamu adalah anak seorang Amirul Mukminin. Ketika kamu menjual barang daganganmu pasti dibeli dengan harga yang lebih tinggi karena para pembeli juga mengetahui kamu adalah anak Amirul Mukminin. Okelah... Jika demikian keadaannya, kaum Muslimin memiliki hak terhadap keuntungan yang kamu peroleh (karena modalnya dari harta mereka)."
Lalu Umar membagi dua (50 : 50) keuntungan tersebut -sebagian untuk anaknya dan sebagian yang lain diserahkan ke Baitul Mal- Umar pun meminta agar modal yang dipinjam anaknya itu segera dikembalikan ke kas negara dan mengingatkan dengan keras akan perbuatan anaknya. Bukan hanya sampai di situ, Umar juga menegur Abu Musa dengan keras atas perbuatannya yang meminjamkan harta negara kepada anaknya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Ini adaiah amanah penguasa yang tidak tidur di mo/am hari demi menjaga harta rakyatnya serta tidak pandang bulu; teman atau keluarga terdekat sekalipun (tidak melakukan KKN).
Sholahuddin Al-Ayubi rahimahullah, adaiah raja yang amat popular di zamannya dalam penaklukan dan kemenangan. Di tangannya negara memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat banyak. Semuanya beliau gunakan untuk wakaf pengembangan pendidikan, rumah sakit dan masjid yang bekas peninggalannya masih kita temukan sampai hari ini. Sungguh demikian, sedikitpun tidak ada yang beliau tinggalkan untuk dirinya dan anak-anaknya. Bahkan sejarah mencatat, ketika meninggal dunia, beliau adaiah manusia yang paling miskin, tidak ada dirham, dinar, tanah dan rumah yang ditinggalkan untuk anak-anaknya.
Ini adaiah amanah seorang pemimpin yang Mujahid yang tidak tergoda memperdagangkan jihad (perjuangan)-nya. Dia hanya mencari ridha, syurga dan ganjaran dari Allah sebagai ganti semua itu.
Ketika Khalifah Utsman Ibnu Affan radhiyallahu 'anhu hendak meminjamkan sebagian harta negara kepada beberapa orang (kawannya), ia memanggil direktur Baitul Mal dan memerintahkan agar merealisasikan permintaannya itu. Sang direkturpun menolak perintah Utsman. Lalu Utsman berkata padanya, "Kenapa kamu tidak mau merealisasikannya sedangkan kamu pegawai kami?"
Sang Direkturpun lari menuju masjid (Nabawi) dan berkata dengan suara yang amat keras sehingga terdengar semua orang yang ada di masjid, "Wahai manusia! Utsman menduga bahwa saya adaiah pegawainya. Saya sesungguhnya adaiah pegawai yang menjaga Baitul Mal kalian. Baitul Mal ini milik kalian, bukan milik pribadinya. Ini kunci Baitul Mal itu, sekarang saya serahkan kepada kalian. Kemudian sang Direktur melemparkan kunci-knuci Baitul Mal itu dan langsung pergi."
Ini adaiah amanah seorang pegawai yang terhormat. Dia tidak mau melecehkan peraturan demi hanya mencari keridhaan presiden atau pimpinannya.
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, khalifah Rasul keempat -karromallahu wajhah- pernah melewati sebuah masjid. Dia melihat seseorang sedang memberikan pelajaran agama kepada para hadirin. Lalu Ali berkata kepada sang ustadz tersebut, "Apakah Anda menguasai hukum-hukum dalam Al-Qur'an, nasikh (ayat-ayat yang membatalkan/menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (ayat-ayat yang dibatalkan/dihapus)?" Sang ustadz menjawab, "Saya belum mengetahuinya."
Spontan Ali berkata, "Celaka engkau dan engkau mencelakakan masyarakat." Kemudian Ali melarang orang tersebut memberikan pelajaran agama kepada masyarakat.
Ini adaiah amanah seorang Presiden dalam men/ago kemurnian ilmu dan aqidah umat agar tidak dirusak oleh orang-orang bodoh/ tidak berilmu.
Pernah suatu kali, Syekh Izzuddin Abdussalam, sang Jaksa Agung Damaskus berseberangan dengan Sultan Damaskus karena ia (Sultan Damaskus) bekerjasama dengan pihak asing untuk memerangi Sultan Mesir; saudara muslimnya. Syekh Izzuddin menganggap perbuatan itu adaiah sebuah pengkhianatan terhadap kaum muslimin dan sebuah tindakan kriminal terhadap negerinya. Ketika Sultan Damaskus memecatnya, Syekh Izzuddin tidak mau tinggal di negeri yang penguasanya adaiah para pengkhianat atas hak-hak masyarakat, kemerdekaan dan kedaulatan mereka. Beliau tidak mau pulang ke Damaskus kendati sang Sultan sudah berupaya dengan segala cara seperti janji-janji manis nan menggiurkan.
Ini adaiah amanah seorang alim (ulama) yang tegas menegakkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim dan membongkar pengkhianatannya terhadap masyarakat, tanpa takut menghadapi berbagai ancaman penguasa demi berjalan di jalan Allah.
Pada suatu hari, ummul mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha bersedekah sebanyak 100.000 dirham sedangkan ia berpuasa dan memakai pakaian yang bertambal. Lalu pembantunya berkata kepadanya, "Wahai sekiranya engkau tinggalkan sedikit untuk membeli makanan untuk buka puasa kita hari ini. Tidak ada lagi yang bisa kita makan hari ini."
Aisyah pun menjawab, "Kalau kamu ingatkan sejak awal, aku akan lakukan itu."
Ini adaiah amanah orang kaya mukmin yang lupa rasa lapar dalam dirinya. Pada waktu yang sama, ia malah ingat rasa lapar orang lain dari masyarakatnya.
Nah, setelah membaca sekelumit fakta sejarah umat Islam tentang amanah, timbul pertanyaan mendasar dalam diri kita: Di mana gerangan amanah seperti itu bersembunyi sekarang? Kapan kita mampu membangun jamaah dakwah yang tegak di atas dasar sifat atau karakter Amanah seperti yang dicontohkan umat Islam terdahulu? Semoga Allah melindungi kita semua dari sifat / karakter tidak amanah, siapapun kita. Amin yaa Robb...
Oleh: Fathuddin Ja'far Lc MA
Amanah adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih lagi bila ia menjadi pemimpin, ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab itu, tidak heran jika salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki oleh beliau. Amanah lazim dipahami sebagai sebuah karakter kejujuran dalam menjalankan tugas, pekerjaan atau kedudukan yang diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah dengan memberikan atau menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian. Ada pula yang mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua manusia, tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi yang mencakup semua aspek yang terkandung dalam kata "amanah", karena begitu besar makna dan perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah llallah. Dakwah llallah akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah llallah akan hancur, paling tidak menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih lagi jika yang tidak amanah itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya yang ada di dalamnya. Amanah bukanlah sebuah rangkaian kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita sehingga menjadi indah didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam kehidupan jamaah dan dakwah llallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam diri para pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya dalam kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan, sikap dan tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan di atas, sulit bagi kita membangun jamaah dakwah llallah yang kuat, dan terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana kasih sayang (mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian, KKN, like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga (dunia) yang sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang semakin merajalela. Akhirnya kehancuran yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah mengingatkan kita: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Bersabda Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam:
Bila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran". [1]
Agar kita mudah memahami dan menghayati kebesaran makna dan peran amanah dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan dakwah, mari kita simak dan renungkan beberapa kisah seputar amanah yang menakjubkan yang terjadi dalam sejarah umat Islam terdahulu, dimulai sejak Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam memimpin umatnya sampai beberapa abad setelahnya. Kisah-kisah di bawah ini mencerminkan amanah yang telah menjadi karakter masyarakat Islam sejak dari pemimpin, ulama, pegawai/profesional dan orang kaya dari kalangan kaum muslimin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah, pernah seorang wanita ternama mencuri di zaman Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan (dispensasi hukum) dari Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam agar tidak diterapkan padanya hukuman potong tangan. Mendengar dan melihat gelagat mereka, beliau pun marah sambil berkata: "Wahai manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka (menerapkan hukum tebang pilih). Ketika yang mencuri (korupsi) itu dari kalangan terhormat, mereka membiarkannya. Namun, bila yang mencuri itu dari kalangan lemah (rakyat jelata), mereka terapkan hukum pada mereka. Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sekiranya Fathimah anak kesayangan Muhammad mencuri, pasti Muhammad potong tangannya".
Ini adalah amanah seorang penguasa da/am menerapkan undang-undang/peraturan terhadap semua rakyatnya.
Salah seorang anak amirul mukminin Umar Ibnul Khattab radhiyallahu 'anhu pernah meminjam modal untuk berdagang dari Abu Musa Al-Asya'ari radhiyallahu 'anhu yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah (Irak). Abu Musa meminjamkannya dari uang simpanan negara dengan syarat dikembalikan utuh, tanpa ada pemotongan sedikitpun. Perdaganganpun dijalankan sampai anak khalifah tersebut meraih keuntungan besar. Berita itu sampai kepada sang khalifah. Lalu beliau berkata kepada anaknya, "Ketika kamu membeli barang, para penjual pasti mendiscount harganya karena mereka mengetahui kamu adalah anak seorang Amirul Mukminin. Ketika kamu menjual barang daganganmu pasti dibeli dengan harga yang lebih tinggi karena para pembeli juga mengetahui kamu adalah anak Amirul Mukminin. Okelah... Jika demikian keadaannya, kaum Muslimin memiliki hak terhadap keuntungan yang kamu peroleh (karena modalnya dari harta mereka)."
Lalu Umar membagi dua (50 : 50) keuntungan tersebut -sebagian untuk anaknya dan sebagian yang lain diserahkan ke Baitul Mal- Umar pun meminta agar modal yang dipinjam anaknya itu segera dikembalikan ke kas negara dan mengingatkan dengan keras akan perbuatan anaknya. Bukan hanya sampai di situ, Umar juga menegur Abu Musa dengan keras atas perbuatannya yang meminjamkan harta negara kepada anaknya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Ini adaiah amanah penguasa yang tidak tidur di mo/am hari demi menjaga harta rakyatnya serta tidak pandang bulu; teman atau keluarga terdekat sekalipun (tidak melakukan KKN).
Sholahuddin Al-Ayubi rahimahullah, adaiah raja yang amat popular di zamannya dalam penaklukan dan kemenangan. Di tangannya negara memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat banyak. Semuanya beliau gunakan untuk wakaf pengembangan pendidikan, rumah sakit dan masjid yang bekas peninggalannya masih kita temukan sampai hari ini. Sungguh demikian, sedikitpun tidak ada yang beliau tinggalkan untuk dirinya dan anak-anaknya. Bahkan sejarah mencatat, ketika meninggal dunia, beliau adaiah manusia yang paling miskin, tidak ada dirham, dinar, tanah dan rumah yang ditinggalkan untuk anak-anaknya.
Ini adaiah amanah seorang pemimpin yang Mujahid yang tidak tergoda memperdagangkan jihad (perjuangan)-nya. Dia hanya mencari ridha, syurga dan ganjaran dari Allah sebagai ganti semua itu.
Ketika Khalifah Utsman Ibnu Affan radhiyallahu 'anhu hendak meminjamkan sebagian harta negara kepada beberapa orang (kawannya), ia memanggil direktur Baitul Mal dan memerintahkan agar merealisasikan permintaannya itu. Sang direkturpun menolak perintah Utsman. Lalu Utsman berkata padanya, "Kenapa kamu tidak mau merealisasikannya sedangkan kamu pegawai kami?"
Sang Direkturpun lari menuju masjid (Nabawi) dan berkata dengan suara yang amat keras sehingga terdengar semua orang yang ada di masjid, "Wahai manusia! Utsman menduga bahwa saya adaiah pegawainya. Saya sesungguhnya adaiah pegawai yang menjaga Baitul Mal kalian. Baitul Mal ini milik kalian, bukan milik pribadinya. Ini kunci Baitul Mal itu, sekarang saya serahkan kepada kalian. Kemudian sang Direktur melemparkan kunci-knuci Baitul Mal itu dan langsung pergi."
Ini adaiah amanah seorang pegawai yang terhormat. Dia tidak mau melecehkan peraturan demi hanya mencari keridhaan presiden atau pimpinannya.
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, khalifah Rasul keempat -karromallahu wajhah- pernah melewati sebuah masjid. Dia melihat seseorang sedang memberikan pelajaran agama kepada para hadirin. Lalu Ali berkata kepada sang ustadz tersebut, "Apakah Anda menguasai hukum-hukum dalam Al-Qur'an, nasikh (ayat-ayat yang membatalkan/menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (ayat-ayat yang dibatalkan/dihapus)?" Sang ustadz menjawab, "Saya belum mengetahuinya."
Spontan Ali berkata, "Celaka engkau dan engkau mencelakakan masyarakat." Kemudian Ali melarang orang tersebut memberikan pelajaran agama kepada masyarakat.
Ini adaiah amanah seorang Presiden dalam men/ago kemurnian ilmu dan aqidah umat agar tidak dirusak oleh orang-orang bodoh/ tidak berilmu.
Pernah suatu kali, Syekh Izzuddin Abdussalam, sang Jaksa Agung Damaskus berseberangan dengan Sultan Damaskus karena ia (Sultan Damaskus) bekerjasama dengan pihak asing untuk memerangi Sultan Mesir; saudara muslimnya. Syekh Izzuddin menganggap perbuatan itu adaiah sebuah pengkhianatan terhadap kaum muslimin dan sebuah tindakan kriminal terhadap negerinya. Ketika Sultan Damaskus memecatnya, Syekh Izzuddin tidak mau tinggal di negeri yang penguasanya adaiah para pengkhianat atas hak-hak masyarakat, kemerdekaan dan kedaulatan mereka. Beliau tidak mau pulang ke Damaskus kendati sang Sultan sudah berupaya dengan segala cara seperti janji-janji manis nan menggiurkan.
Ini adaiah amanah seorang alim (ulama) yang tegas menegakkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim dan membongkar pengkhianatannya terhadap masyarakat, tanpa takut menghadapi berbagai ancaman penguasa demi berjalan di jalan Allah.
Pada suatu hari, ummul mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha bersedekah sebanyak 100.000 dirham sedangkan ia berpuasa dan memakai pakaian yang bertambal. Lalu pembantunya berkata kepadanya, "Wahai sekiranya engkau tinggalkan sedikit untuk membeli makanan untuk buka puasa kita hari ini. Tidak ada lagi yang bisa kita makan hari ini."
Aisyah pun menjawab, "Kalau kamu ingatkan sejak awal, aku akan lakukan itu."
Ini adaiah amanah orang kaya mukmin yang lupa rasa lapar dalam dirinya. Pada waktu yang sama, ia malah ingat rasa lapar orang lain dari masyarakatnya.
Nah, setelah membaca sekelumit fakta sejarah umat Islam tentang amanah, timbul pertanyaan mendasar dalam diri kita: Di mana gerangan amanah seperti itu bersembunyi sekarang? Kapan kita mampu membangun jamaah dakwah yang tegak di atas dasar sifat atau karakter Amanah seperti yang dicontohkan umat Islam terdahulu? Semoga Allah melindungi kita semua dari sifat / karakter tidak amanah, siapapun kita. Amin yaa Robb...
”Tidak ada iman bagi orang
yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang
janji.” (HR Ahmad dan Al-Bazzaar).
Hadis di atas, walaupun
pendek, syarat makna. Rasulullah SAW mengisyaratkan satu hal yang penting,
yaitu tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah. Hal ini disampaikan
agar kita memperhatikan pesan Rasulullah dan kita wajib menunaikan amanah
kepada yang berhak. Diperintahkan Allah SWT dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya ….” (QS
An-Nisaa’: 58).
Ini berarti bahwa yang
diperintahkan Allah kepada kita adalah bukti iman, sedangkan lawannya, yaitu
mengkhianati amanah, merupakan bukti kemunafikan. Dinyatakan dalam sebuah
hadis, ”Ada empat hal, jika keempat-empatnya terdapat pada diri seseorang,
berarti dia benar-benar murni seorang munafik, sedangkan orang yang menyimpan
salah satunya, berarti terdapat pada dirinya salah satu tanda orang munafik,
sampai ia meninggalkannya. Jika diberi amanah ia berkhianat, jika bicara ia
berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bermusuhan ia keji.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Memenuhi janji merupakan
syarat asasi bagi keberadaan iman dalam hati seorang hamba, sebagaimana
disinggung dalam firman Allah mengenai sifat orang-orang mukmin, ”Dan
orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang (dipikulnya) dan janjinya.” (QS
al-Israa’: 34).
Dalam ayat lain, ”Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedangkan kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu) ….” (QS An
Nahl: 91).
Dari dua ayat di atas,
hendaknya kita menunaikan amanah dan menepati janji agar kita menjadi kaum
mukminin sejati. Ingatlah akan firman Allah SWT, ”(Yaitu) orang-orang yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Baqarah:
27).
Kita harus memulai dari
diri kita untuk menunaikan amanah itu agar terhindar dari sifat munafik yang
disebutkan dalam hadis di atas. Terlebih apabila kita menjadi pemimpin baik
untuk diri sendiri, keluarga, apalagi pemimpin masyarakat. Mulai dari yang
terendah sampai pemimpin negara, mereka harus memegang teguh pendirian bahwa
kepemimpinan itu merupakan amanah dari Allah. Kesadaran ini akan membawanya
kepada tanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Wallahu a’lam bish shawab.
keyword: hadist tentang amanah, ayat tentang
amanah, menepati janji dalam islam, hadis tentang amanah, hadits tentang
amanah, ceramah tentang amanah, ayat alquran tentang tanggung jawab, ayat
alquran tentang amanah, pengertian janji, DALIL TENTANG AMANAH, ayat tentang
pemimpin, hadist tentang janji, pengertian menepati janji, hadits amanah,
hadits tentang janji, ayat alquran tentang janji, Makna janji, hadist janji,
kultum tentang amanah, janji menurut islam, hadis janji, makna janji dalam
islam, hadis tentang janji, ceramah tentang janji, hadist amanah, hadis amanah
dan menepati janji, kultum amanah, hadits amanah dan tanggung jawab, ayat
alquran tentang ingkar janji, Kultum menepati janji
Empat Amanah Pemuda Muslim dalam Memikul Risalah
oleh: Shalih
Hasyim
Amanah Ketiga :
Mendakwakan Islam
KEWAJIBAN
ketiga adalah ad-dakwatu
ilallah(mengajak orang lain kepada agama
Allah SWT). Tidaklah cukup bila diri seorang muslim itu shalih. Islam
menghendaki bahwa seorang itu tidak cukup hanya sholih
linafsihi (sholih untuk dirinya) saja,
melainkan juga menjadikan orang lain shalih seperti dirinya (sholih
lighoirihi). Manusia paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya untuk
orang lain (al-Hadits). Oleh karena itu ia memikul tugas dakwah untuk
memperbaiki orang lain. Baik secara fardiyah maupun jamaah.
Umar
bin Khathab pernah berdoa : Aku berlindung kepada Allah SWT dari kuatnya orang
jahat yang berkuasa dan lemahnya orang shalih (al-Hadts).
Kondisi
tersebut terjadi ketika seorang muslim melalaikan tanggungjawab social. Yaitu,
amar bil makruf dan nahi ‘anil mungkar. Jika keadaan ini terus dibiarkan,
masyarakat akan terjangkiti penyakit ruhani. Perbuatan yang dikenali hati
(makruf), kejujuran, kelembutan dll akan menjadi diingkari, dan menjadi asing.
Dan kemungkaran (perbuatan yang diingkari hati), misalnya kebohongan dll
menjadi dikenal.
Bumi
ini akan dihuni oleh manusia yang kotor hati nuraninya. Kepercayaan kepada
Allah SWT dicemari dengan pemujaan kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi
masyarakatnya telah dikotori dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root), kesewenang-wenangan yang kaya dan berada
terhadap yang tidak beruntung, dan keserakahan yang berharta kepada yang
melarat. Kebudayaan mereka dinistai dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita,
perbudakan sesama manusia dan pemujaan hawa nafsu. Peradilan mereka adalah
peradilan rimba – yang kuat selalu benar, yang lemah selalu salah -. Hukum
mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk kalangan elitis (qiyadah) dan tajam untuk kaum dhu’afa (junud). Agama mereka adalah agama yang kaya dengan
upacara, serimonial, tetapi miskin aplikasi.
Maka
dalam surat Al-‘Ashr mensyaratkan keselamatan seseorang dari kerugian itu ialah
dengan berpesan kepada orang lain untuk menetapi kebenaran dan kesabaran.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103) : 1-3).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103) : 1-3).
Karena
itu kita wajib mempekerjakan diri kita untuk kebenaran dan setelah itu kita
teguhkan untuk selalu bersabar. Karena itulah antara saling berpesan untuk
menetapi kebenaran dan berpesan untuk kesabaran dirangkaiakan. Sebagaimana yang
dipesankan oleh Luqman al-Hakim kepada anaknya (agar melaksanakan amr bil
makruf dan nahi ‘anil mungkar), katanya :
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman (31) : 17).
Jadi, berdakwah itu memerlukan kesabaran. Karena perjalanan dakwah itu curam, licin dan mendaki. Bagaikan memanjat pohon pinang yang berminyak. Mendidik manusia di waktu kecil bagaikan mengukir di atas air. Mendidik manusia ketika dewasa laksana mengukir diatas batu. Perhatikan karakter sosok pengukir. Ia tekun, teliti, tidak tergesa-gesa, berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitas, mengedepankan proses, bukan hasil. Dan yang paling menonjol pada diri pengukir adalah sifat sabar.
Berdakwah merupakan amanah yang berat dan melarat, mewarisi pekerjaan para nabi dan rasul, khususnya pada zaman kita ini. Karena demikian banyak manusia yang berpaling, materialistis dan hedonis dan menjauh dari agama.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzzammil (73) : 5).
Maka, dakwah merupakan perkataan yang berat dan tugas yang tidak sederhan dan tidak mudah. Kitalah yang mewarisi perkataan yang berbobot itu. Kalau keadaan zaman kita seperti ini, maka tugas dan beban kita semakin berat, karena berpalingnya manusia dari agama, tipisnya keyakinan mereka, tercurahkannya perhatian (pikiran dan hati) mereka terhadap kehidupan dunia, menjauhi dan membelakangi akhirat, banyaknya penghambat kebaikan, dan banyaknya bujukan dan rayuan kepada kejelekan.
Jadi, para penyeru di jalan Allah SWT harus mempersiapakn mental untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Akan dijumpai hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kita, hingga masuk ke rumah. Boleh jadi bapak kita, sudara-saudara kita, teman-teman kita, orang-orang terdekat kita, akan menghalangi kita seraya berkata, Apakah engkau ingin ditangkap? Apakah engkau ingin tinggal di hotel prodeo seperti Nabi Yusuf? Apakah engkau mencari mati? Apakah engkau akan dibegitukan dan dibeginikan? Apakah engkau akan dicap (diberi stigma negatif), teroris, radikal dan Islam garis keras serta fundamental.
Kalau juru dakwah itu seorang perempuan, maka dia akan ditertawakan dan direndahkan karena dia mengenakan pakaian sesuai dengan tuntunan syariat. Pada tahun-tahun terdahulu kita melihat para pemudi memakai jilbab di kepalanya, menutup leher dan dadanya, dan mengenakan pakaian yang panjang. Tetapi sekarang kita lihat mereka melepaskan semua atribut keislaman itu dan mereka mengenakan pakaian yang minim ala turis domestik, buka-bukaan. Memakai pakaian tembus pandang. Juru dakwah wanita menderita tekanan yang berat dari keluarganya, kerabatnya, ibunya, bibinya, anak-anak perempuan bibi dari pihak ayah maupun dari jurusan ibu. Mereka mentertawakan dan melecehkan pakaian syar’i yang menutup aurat untuk memelihara kehormatan dirinya itu.
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman (31) : 17).
Jadi, berdakwah itu memerlukan kesabaran. Karena perjalanan dakwah itu curam, licin dan mendaki. Bagaikan memanjat pohon pinang yang berminyak. Mendidik manusia di waktu kecil bagaikan mengukir di atas air. Mendidik manusia ketika dewasa laksana mengukir diatas batu. Perhatikan karakter sosok pengukir. Ia tekun, teliti, tidak tergesa-gesa, berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitas, mengedepankan proses, bukan hasil. Dan yang paling menonjol pada diri pengukir adalah sifat sabar.
Berdakwah merupakan amanah yang berat dan melarat, mewarisi pekerjaan para nabi dan rasul, khususnya pada zaman kita ini. Karena demikian banyak manusia yang berpaling, materialistis dan hedonis dan menjauh dari agama.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzzammil (73) : 5).
Maka, dakwah merupakan perkataan yang berat dan tugas yang tidak sederhan dan tidak mudah. Kitalah yang mewarisi perkataan yang berbobot itu. Kalau keadaan zaman kita seperti ini, maka tugas dan beban kita semakin berat, karena berpalingnya manusia dari agama, tipisnya keyakinan mereka, tercurahkannya perhatian (pikiran dan hati) mereka terhadap kehidupan dunia, menjauhi dan membelakangi akhirat, banyaknya penghambat kebaikan, dan banyaknya bujukan dan rayuan kepada kejelekan.
Jadi, para penyeru di jalan Allah SWT harus mempersiapakn mental untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Akan dijumpai hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kita, hingga masuk ke rumah. Boleh jadi bapak kita, sudara-saudara kita, teman-teman kita, orang-orang terdekat kita, akan menghalangi kita seraya berkata, Apakah engkau ingin ditangkap? Apakah engkau ingin tinggal di hotel prodeo seperti Nabi Yusuf? Apakah engkau mencari mati? Apakah engkau akan dibegitukan dan dibeginikan? Apakah engkau akan dicap (diberi stigma negatif), teroris, radikal dan Islam garis keras serta fundamental.
Kalau juru dakwah itu seorang perempuan, maka dia akan ditertawakan dan direndahkan karena dia mengenakan pakaian sesuai dengan tuntunan syariat. Pada tahun-tahun terdahulu kita melihat para pemudi memakai jilbab di kepalanya, menutup leher dan dadanya, dan mengenakan pakaian yang panjang. Tetapi sekarang kita lihat mereka melepaskan semua atribut keislaman itu dan mereka mengenakan pakaian yang minim ala turis domestik, buka-bukaan. Memakai pakaian tembus pandang. Juru dakwah wanita menderita tekanan yang berat dari keluarganya, kerabatnya, ibunya, bibinya, anak-anak perempuan bibi dari pihak ayah maupun dari jurusan ibu. Mereka mentertawakan dan melecehkan pakaian syar’i yang menutup aurat untuk memelihara kehormatan dirinya itu.
Tentu,
wanita yang beriman dengan keyakinan yang kuat tidak akan menghiraukan semua
itu, bahkan ia akan terus menunaikan hak-hak Allah dan berjalan pada
batas-batas-Nya. Tetapi, apabila imannya lemah, maka ia akan mengikuti
seruan-seruan yang merusak itu. Pada zaman kita ini banyak sekali tipu daya dan
unsure-unsur yang dapat memalingkan manusia dari menjalankan syariat Allah SWT.
Karena itu dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
يَأْتي
على الناس زَمَانٌ الصَابرُ عَلَى ديْنه كاَ لْقاَبض عَلىَ الْجَمَر
“Akan datang pada
manusia suatu zaman yang pada hari itu orang yang berpegang pada agamanya
bagaikan memegang bara api.” (HR. Tirmidzi).
Melakukan amal shalih pada hari-hari yang penuh fitnah tersebut akan memperoleh pahala seperti lima puluh orang sahabat Nabi. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Seperti lima puluh orang dari kami atau mereka” ?. Beliau menjawab : Dari kamu, karena kamu dalam melakukan kebaikan masih mendapatkan banyak pendukung dan pembantu…….”
Melakukan amal shalih pada hari-hari yang penuh fitnah tersebut akan memperoleh pahala seperti lima puluh orang sahabat Nabi. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Seperti lima puluh orang dari kami atau mereka” ?. Beliau menjawab : Dari kamu, karena kamu dalam melakukan kebaikan masih mendapatkan banyak pendukung dan pembantu…….”
Karena
itu sudah lazim kita membulatkan tekad untuk berpegang teguh, komitmen (iltizam) terhadap nilai-nilai Islam dan menyeru orang
lain kepadanya sekalipun ada tantangan dan tekanan keluarga, masyarakat,
tekanan politik yang datang dari segala penjuru.
Kita
wajib menghadapi semua itu dengan penuh ketabahan dan keteguhan serta kekuatan,
karena tidak ada dakwah yang tidak menghadapi tantangan. Setiap dakwah ada yang
memusuhi dan menentangnya.
“Dan Demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia) [agar
mendustakan Nabi]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.” (QS. Al
Anam (6) : 112)
“Dan seperti itulah,
telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan
cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al Furqan (31).
Zaman
sekarang ini seperti kata orang adalah zaman ideologi baru. Apabila Komunisme
mempunyai pendukung setia dan pembela, Yahudi memiliki pendukung dan pembela.
Freemasonry memiliki pendukung dan pembela, Bahaiyah dan Qadaniyah juga
memiliki pembela dan pendukung, maka apakah tidak ada yang menjadi pembela dan
pendukung Islam seperti zaman generasi awal?
Menurut tabiatnya, Islam adalah “din intisyar” (agama yang memiliki karakter untuk berkembang, menyebar), dan “din dakwah” (agama dakwah).
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?." (QS. Fushshilat (41) : 33).
Menurut tabiatnya, Islam adalah “din intisyar” (agama yang memiliki karakter untuk berkembang, menyebar), dan “din dakwah” (agama dakwah).
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?." (QS. Fushshilat (41) : 33).
Karena
itulah kewajiban pemuda Islam pada masa sekarang ini ialah memantapkan dirinya
untuk berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Sungguh tidak ada tugas yang
lebih agung dan lebih mulia daripada tugas dakwah Islam, karena dakwah ini
merupakan tugas dakwah para Nabi. Dan dengan melakukan dakwah ini akan
menjadikannya berpegang teguh pada tali kebenaran, tali yang kokoh dan kuat.*/bersambung bagian empat